Rambut
gimbal atau gembel yang dimiliki sejumlah anak di Dataran Tinggi Dieng,
Kabupaten Banjarnegara, itu bukanlah tren rambut yang mereka ikuti
melainkan terbentuk dengan sendirinya.
Konon, anak-anak berambut gimbal ini memiliki keistimewaan dibanding anak-anak lainnya.
Mereka
yang berambut gimbal ini juga memiliki impian maupun cita-cita seperti
halnya anak-anak sebaya termasuk ingin berambut normal.
Kendati
demikian, rambut gimbal yang mereka miliki tidak bisa dihilangkan begitu
saja atau dipotong di salon karena gimbalnya akan kembali tumbuh
meskipun telah dihilangkan.
Rambut-rambut gimbal tersebut harus
dipotong melalui sebuah prosesi ruwatan agar bisa tumbuh normal dan
dilaksanakan atas dasar keinginan si anak, bukan kemauan orang tuanya.
Selain
itu, orang tua juga harus memenuhi permintaan si anak berambut gimbal
yang sudah bersedia untuk diruwat. Oleh karenanya, ruwatan rambut gimbal
ini tidak dilaksanakan setiap saat.
Bahkan dalam satu tahun,
belum tentu ada anak berambut gimbal yang diruwat karena kadang kala
orang tuanya belum mampu menyiapkan permintaan si anak termasuk biaya
untuk menggelar ruwatan.
Terkait hal itu, Kelompok Sadar Wisata
(Pokdarwis) Dieng Pandawa, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur,
Banjarnegara, menggelar ruwatan massal anak berambut gimbal yang
dirangkaikan dengan ajang "Dieng Culture Festival 2012", 30 Juni-1 Juli
2012.
Pokdarwis Dieng Pandawa yang didukung Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (Dinbudpar) Banjarnegara berupaya memfasilitasi pelaksanaan
ruwatan bagi anak-anak berambut gimbal.
Dalam pelaksanaan DCF 2012
yang merupakan tahun ketiga ini, Pokdarwis Dieng Pandawa berhasil
menjaring enam anak berambut gimbal yang bersedia mengikuti ruwatan.
Keenam anak berambut gimbal ini memiliki permintaan yang berbeda-beda dan harus dipenuhi saat mengikuti ruwatan.
Ketua
Panitia DCF 2012 Alif Faozi mengatakan enam peserta ruwatan rambut
gimbal terdiri Baqiyatus Izah dari Desa Dieng Kulon (Kecamatan Batur)
dengan permintaan sebuah sepeda dan 10 butir telur ayam, Nur Hikmah dari
Desa Bitingan (Batur) yang meminta anting-anting, Muhammad Farkhan
Askataslini dari Desa Karangtengah (Batur) yang meminta seekor kambing.
Selain
itu, kata dia, Intan Rahmidiani dari Desa Beji (Penjawaran) yang
meminta lima mangkuk bakso dan seekor ayam jago, Nadia Retnowati dari
Batur yang meminta uang jajan Rp100 dan Rp1.000, serta Indischa Azzahra
Pradestaraya yang meminta dua permen Milkita dan dua dus minuman
Milkuat.
Saat ditemui di sela-sela rangkaian kegiatan ruwatan
massal, Intan Rahmidiani (4) mengaku senang bisa mengikuti acara ini.
"Kulo pengin dados dokter (saya ingin menjadi dokter, red.)," kata dia
dalam bahasa Jawa tanpa malu-malu.
Bahkan, dia yang telah mengenyam pendidikan anak usia dini (PAUD) ini juga mengaku ingin menjadi seorang bintang kecil.
Ibunda Intan Rahmidiani, Pariyem (35) mengatakan, anak ketiganya ini memiliki rambut gimbal sejak usia dua tahun.
Sebelum
rambut gimbalnya terbentuk, kata dia, Intan terlebih dulu sakit-sakitan
selama satu bulan namun tidak terus-menerus. "Seminggu sekali sakit
panas, itu terjadi selama satu bulan," katanya.
Menurut dia di
antara tiga anaknya, hanya Intan dan kakak tertuanya, Fitrohayatun (13),
yang berambut gimbal, sedangkan anak laki-lakinya berambut normal.
Ia
mengatakan Fitrohayatun yang sekarang telah duduk di kelas 2 sekolah
menengah pertama ini gimbal sejak usia dua tahun dan diruwat saat
berusia enam tahun.
"Kakak sulungnya dulu saat diruwat minta paha ayam. Alhamdulillah setelah mengikuti ruwatan, rambutnya tumbuh normal," katanya.
Ia
mengaku pernah berambut gimbal dan mengikuti ruwatan saat masih berusia
enam tahun dengan meminta persyaratan berupa singkong bakar dan jenang
(dodol, red.).
Menurut dia Intan baru kali ini bersedia diruwat
dan secara kebetulan ada ruwatan massal sehingga sangat terbantu. "Kalau
mengadakan ruwatan sendiri, butuh banyak biaya," katanya.
Sementara saat menjalani ruwatan di pelataran Candi Puntadewa, Intan yang didampingi ayahnya, Riyanto (37), tampak ceria.
Bahkan
saat hendak menuju altar tempat pemotongan rambut gimbal, dia yang
dipanggul di pundak ayahnya melambaikan kedua tangannya sembari menebar
senyum ke seluruh tamu undangan maupun wisatawan yang menyaksikan
prosesi ini.
Demikian pula setelah selesai menjalani pemotongan
rambut gimbalnya, Intan tetap melambaikan tangan dan menebar senyum
bagaikan seorang artis sedang menyapa penggemarnya.
Meskipun di
Dataran Tinggi Dieng banyak terdapat anak-anak berambut gimbal, belum
semuanya bersedia diruwat, salah satunya Muhammad Alfarizi Masaid (10)
yang disebut-sebut sebagai maskot atau rajanya anak-anak berambut
gimbal.
Rizi (panggilan akrab Muhammad Alfarizi Masaid, red.)
memiliki rambut gimbal jenis "pari" atau padi. Konon, rambut gimbal ini
paling sempurna dan jarang yang memilikinya. "Suk emben nek wis gedhe
(besok kalau sudah besar, red.)," kata dia yang mengaku ingin menjadi
pesepak bola ternama.
Dia menginginkan adanya pementasan Reog Ponorogo dan Barongsay serta diberi cemeti jika hendak diruwat.
Hal
yang sama juga diakui Aprilianti (22) karena anaknya yang berambut
gimbal, Sherli (4), belum bersedia diruwat meskipun hanya meminta dua
bua kelapa muda dan dua buah apel. "Belum mau diruwat, saya sendiri juga
tidak bisa memaksanya," kata dia yang pernah berambut gimbal sejak usia
dua tahun dan diruwat saat berusia dua tahun dan diruwat saat berusia
enam tahun dengan permintaan berupa dua ekor kalkun.
Masyarakat
Dataran Tinggi Dieng meyakini anak-anak berambut gimbal ini adalah anak
bajang titipan Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan, red.).
Anak berambut
gembel berjenis kelamin laki-laki merupakan titisan Eyang Agung Kala
Dete, sedangkan yang perempuan titisan Nini Ronce Kala Prenye. Mereka
diyakini sebagai titipan anak bajang dari Ratu Samudera Kidul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar