Ahmad Faisol
Rahmad tampak berkonsentrasi memotong rambut pelanggannya.
Selama 32 tahun dia bertahan dengan alat cukur tradisional dan tempat
cukur seadanya.
Di tengah
berkembangnya alat cukur rambut yang serba elektrik, seorang tukang
cukur di Situbondo, Jawa Timur, masih ada yang setia dengan peralatan
cukur tradisionalnya.
Bahkan, hampir 32 tahun, Rahmad (72)
bertahan dengan alat-alat cukur manual miliknya, seperti gunting rames,
gunting biasa, pisau cukur, dan alat tradisional lainnya.
Tidak
heran, dengan peralatan serba tradisional itu profesi Rahmat sebagai
tukang cukur tradisional lambat laun mulai tersisih. Ia kalah saing
dengan tukang potong rambut dengan peralatan modern yang kian marak,
mulai dari yang menggunakan istilah pangkas rambut hingga salon
kecantikan yang juga melayani penataan rambut.
"Saya bisa saja
menggunakan alat cukur yang pakai tenaga listrik itu. Tapi, bagi saya,
alat cukur tradisional ini lebih alami. Saya eman dan sayang
dengan semua peralatan ini," kata Rahmad di tempat usahanya di Desa
Sumberkolak, Kecamatan Panarukan, Jumat (18/5/2012).
Tidak hanya
alat-alatnya yang terbilang kalah saing. Lokasi tempat Rahmad membuka
jasa sebagai tukang cukur rambut juga cenderung terpencil.
Sejak
baru memulai usahanya pada tahun 1980-an silam hingga kini, bapak lima
anak warga Desa Kotakan, Kecamatan Situbondo, itu masih bertahan di
tempatnya semula, yakni di depan bangunan bekas stasiun kereta api (KA)
Desa Sumberkolak.
Padahal, sejak trayek KA jurusan
Situbondo-Bondowoso ditutup awal tahun 2000-an, lokasi stasiun itu jadi
ikutan sepi. Bahkan, kini mirip bangunan tua yang mati. Hanya para
petani dan warga sekitar yang masih sering lalu lalang di jalan setapak
depan stasiun.
Meski begitu, kondisi itu tak mampu meluluhkan hati Rahmad untuk pindah lokasi ke tempat yang lebih ramai.
"Sejak
awal saya sudah buka usaha di sini. Dulu, awal saya buka usaha, ongkos
potong rambut masih Rp 10 per orang. Waktu stasiun masih buka, usaha
saya ini cukup ramai. Makanya saya tidak mau pindah dari sini karena
bagi saya ini tempat bersejarah," tukasnya.
Di depan stasiun itu,
tempat usaha Rahmad berada di sisi persawahan dan hanya berteduh di
bawah pohon mangga. Tidak ada tenda yang menaungi. Jika hanya turun
hujan, Rahmad memboyong peralatan usahanya ke teras bangunan stasiun.
Para
pelanggannya pun juga makin terbatas, yakni para orang tua maupun anak
petani dan warga sekitar saja. Rahmad juga tidak mematok tarif atau
ongkos untuk jasa cukur rambut.
"Orang kasih macam-macam, dari Rp
3.000 sampai Rp 5.000. Tiap hari pendapatan saya tidak menentu, kadang
sampai Rp 30.000, kadang Rp 20.000, kadang juga tidak ada sama sekali.
Saya buka usaha ini mulai dari jam 07.30 sampai sore," tuturnya sambil
tersenyum. sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar